Para netizen di Indonesia tampaknya sangat gemar dengan media sosial. Selain untuk bersosialisasi, netizen juga memanfaatkan Twitter, Facebook, dan Instagram untuk berjualan dan mempromosikan barang dagangan mereka.
Ini terlihat seperti peluang yang menjanjikan bagi startup untuk tap in, terlebih dengan melihat “gemuknya” jumlah pengguna media sosial di tanah air: 22 juta pengguna Instagram, 55 juta pengguna Twitter (sampai pertengahan 2015), dan 82 juta pengguna Facebook.
Namun, berkaca pada tutupnya Shopious, menjaring keuntungan dari “demam” social commerce di Indonesia ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Startup yang mengagregasi toko fashion di Instagram ini mengambil keputusan berat untuk menutup layanannya.
Awalnya startup yang didirikan pada tahun 2013 ini, memiliki model bisnis sebagai marketplace fashion C2C. Lalu pada awal 2014, Shopious melakukan pivot menjadi agregator toko fashion di Instagram.
Di atas kertas, ide yang diusung sederhana dan berpotensi menjadi bisnis yang tumbuh secara berkelanjutan. Pedagang hanya perlu mendaftarkan diri dan membayar biaya berlangganan agar akun Instagram mereka terintegrasi dengan platform Shopious. Dengan begitu, penjual bisa mendapatkan audiens yang lebih luas—bukan hanya teman atau pengikut akun Instagram mereka saja.
Menurut Founder Shopious Aditya Herlambang, tutupnya Shopius bukan karena mereka kehabisan dana. “Kami memutuskan tutup bukan karena kehabisan dana atau tidak bisa mendapatkan investor. Kami masih punya dana yang cukup untuk menjalankan operasional Shopious selama satu hingga satu setengah tahun ke depan,” ujar Aditya kepada Tech in Asia. Dana tersebut dikembalikan Shopious ke angel investor.
Jika bukan soal dana, lalu apa penyebabnya? Dalam blog yang ia tulis di Medium, ada beberapa masalah yang menjadi penyebabnya.
Biaya akuisisi pengguna yang semakin tinggi
Sedari awal, Shopious menerapkan skema berbayar kepada penggunanya. Artinya mereka harus memenuhi janji yang mereka berikan, yaitu meningkatkan angka penjualan agar sepadan dengan biaya berlangganan yang telah dibayarkan.
Shopious mengaku menggunakan seluruh dana yang didapat dari penggunanya untuk menarik calon pembeli ke situs mereka. Sayangnya, biaya marketing yang digunakan, seperti SEO, SEM, iklan FB, SMS blast, dan sebagainya, semakin hari terus meningkat.
“Sehingga hanya perusahaan atau startup dengan pendanaan besar yang mampu menggunakannya,” ujar Aditya.
Baca juga: Bagaimana Tiket Bertahan Tanpa Adanya Pendanaan Besar-besaran
Dropshipper memberikan pengalaman belanja yang buruk
Menurut Aditya, banyak penjual di Instagram tidak menyetok barang yang mereka jual, melainkan berperan sebagai dropshipper. Penjual tidak menyetok barang di toko mereka, tetapi diambil dari distributor atau penyuplai.
Ketika ada yang ingin membeli suatu barang, penjual harus mengecek stoknya dulu kepada penyuplai. Ini menyebabkan terjadinya efek leher botol dalam interaksi antara penjual dengan pembeli. Karena respons dari penjual lama, calon pembeli jadi kehilangan minat.
Karena urusan transaksi dilakukan oleh pembeli dan penjual secara langsung, pihak Shopious tidak bisa melacak—lalu memperbaiki—jika terjadi masalah semacam ini.
Saya sendiri pernah mengalami pengalaman belanja yang kurang mengenakkan di salah satu martketplace, karena membeli barang dari dropshipper. Lokasi penjual tercantum berada di Jakarta, satu kota dengan tempat saya tinggal. Setelah lewat dari seminggu, barang yang saya pesan tak kunjung datang. Ternyata, setelah melakukan tracking, barang dikirim dari Surabaya.
Kompetisi berat dengan startup berkantong tebal

Situs Shopious kini sudah tidak bisa diakses.
Aditya sadar akan besarnya biaya yang perlu dikeluarkan untuk menarik traffic ke platform Shopious. Ini artinya mereka harus menunggu lebih lama untuk mendapatkan keuntungan. Sementara tujuan awal didirikannya Shopious adalah untuk membuat bisnis yang mampu menciptakan keuntungan secara berkelanjutan.
Seperti telah disebutkan di atas, Shopious masih punya dana yang cukup untuk membuat platform ini bernafas hingga satu setengah tahun ke depan. Aditya juga mengklaim ada ratusan penjual yang berminat membayar menggunakan Shopious.
Namun Shopious berhadapan dengan pelaku bisnis e-commerce yang tidak takut “membakar uang”. Bahkan mereka berani memberi subsidi lewat diskon, ongkos kirim gratis, menurunkan harga, dan sebagainya. Ia melihat fenomena ini akan terus berlangsung, justru akan semakin buruk dengan banyaknya pendatang baru dengan pendanaan besar ikut bermain di Indonesia.
Aditya mengaku kecewa dengan startup scene di Indonesia, yang menurutnya berbeda dengan Silicon Valley. Di Silicon Valley, startup berkompetisi dengan membuat produk dan layanan yang lebih baik. Di Indonesia, startup bersaing dengan besarnya pendanaan yang dimiliki.
“Mereka dengan pendanaan paling besar di rekening banknya kemungkinan besar akan memenangkan kompetisi,” ujar Aditya.
Baca juga: Alibaba Beli Mayoritas Saham Lazada demi Kuasai Asia Tenggara
Setelah lebih dari dua tahun menjalankan Shopious, Aditya menarik kesimpulan kalau pasar e-commerce di Indonesia masih belum siap. Ia memperkirakan kalau dibutuhkan sekitar 10 hingga 15 tahun lagi sebelum pasar benar-benar matang.
Namun, melihat poin terakhir, bisa dikatakan kalau Shopious ditutup karena kekecewaan Aditya dengan dinamika dunia startup tanah air. Ia sendiri membenarkan itu, dan mengatakan kalau keputusan ini memang lebih karena faktor ideologi.
Ada yang mengatakan kalau mengucurkan dana besar diperlukan, karena kita sedang berada di tahap awal ledakan industri dan pasar belum siap. Ada yang bilang ini mengedukasi pasar. Menurut saya itu omong kosong. Ini justru mengacaukan keadaan dan berpotensi membawa kita ke tech bubble. Ke depannya, angka (investasi) bakal semakin tidak masuk akal dan kita akan melihat devaluasi startup di Indonesia—yang mana sudah terjadi di AS.
(Artikel ini pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Inggris oleh Nadine Freischlad. Informasi dalam artikel tersebut telah diterjemahkan dan dimodifikasi. Diedit oleh Praditpa Nugrahanto; sumber gambar neeel)
The post Tutupnya Shopious dan Beratnya Persaingan dengan E-commerce Berkantong Tebal appeared first on Tech in Asia Indonesia.
sumber:
0 komentar:
Posting Komentar