Dengan jumlah penduduk mencapai 10 juta, dan semakin meningkatnya masyarakat kelas menengah ke atas yang tak bisa dipisahkan dari mal dan
smartphone, Jakarta kini tengah menuju revolusi ritel. Meskipun pertumbuhan di banyak negara lain melambat, namun kedudukan Indonesia menjadi semakin penting di mata para investor dan
brand digital. Terutama mereka yang ingin mengambil keuntungan dengan menjadi yang pertama hadir di negara ini.
Lalu, mengapa kita belum melihat revolusi tersebut?
Pada 2014, Bank Dunia menempatkan Indonesia di urutan paling rendah dibandingkan beberapa negara maju Asia Tenggara lainnya
dalam hal Indeks Kinerja Logistik. Alasannya? Indonesia merupakan negara kepulauan yang tersusun dari 17.508 pulau, dan 6.000 di antaranya tak berpenghuni.
Minimnya infrastruktur yang memadai membuat Indonesia kesulitan menekan biaya distribusi. Sumber gambar:
Integrasiautama
Ini artinya ongkos distribusi produk sangat mahal. Lalu minimnya infrastruktur yang menghubungkan kepulauan menyebabkan masalah logistik tersendiri. Situasi seperti ini juga mengisyaratkan bahwa kebutuhan inovasi dalam hal pengemasan produk sangatlah mendesak.
Kota-kota di Indonesia dirugikan akibat kendala infrastruktur yang sulit dibayangkan terjadi di belahan dunia lainnya. Tingginya lonjakan jumlah populasi mengakibatkan kepadatan lalu lintas yang melebihi ambang batas. Bahkan, baru-baru ini Jakarta “dinobatkan” sebagai
kota dengan lalu-lintas paling parah di dunia, disusul oleh Surabaya yang tak jauh mengekor.
Masalahnya bukan hanya itu
Sektor periklanan masih didominasi oleh media tradisional, dengan TV menjadi media yang
paling memengaruhi keputusan calon konsumen dalam membeli suatu produk. Meski popularitasnya menanjak, namun kepercayaan konsumen terhadap toko
online tergolong rendah.
Banyak penduduk Indonesia yang tak memiliki kartu kredit, dan keuangan inklusif di wilayah pinggiran masih rendah. Sejauh ini, sebagian besar penduduk Indonesia masih percaya pada transaksi tunai atau transfer antar bank sebagai metode pembayaran. Alhasil, pasar jual beli
online kesulitan untuk mempertegas keberadaannya.
Namun… Jakarta menyimpan potensi yang besar
Ada segudang potensi pertumbuhan dalam lanskap ritel Jakarta. Populasi di kota ini diprediksi
melonjak hingga 16 juta jiwa pada 2020, dan peningkatan jumlah tersebut akan
didominasi oleh konsumen berpenghasilan menengah yang akan menggerakkan pola kebiasaan digital negara berpenduduk 250 jutaan orang ini. Karena itu, faktor kualitas produk dan kepercayaan konsumen akan lebih penting ketimbang harga produk itu sendiri.
Jakarta juga punya tingkat melek media sosial yang tinggi. Ada
lebih dari 72 juta pengguna media sosial aktif. Menariknya, jumlah tersebut hanya 28 persen dari total populasi Indonesia. Kota ini merupakan kota dengan jumlah pengguna
Facebook terbanyak di dunia, dan ada lebih banyak
Tweet yang dicuitkan dari Jakarta dibanding kota manapun di negara lainnya.
Sebagian besar interaksi sosial tersebut dilakukan lewat
smartphone, sehingga bisa dikatakan bahwa negara ini merupakan masyarakat “
mobile-first” sejati. Hal ini mempertegas adanya peluang bagi
brand lokal untuk menghindari tindakan dan kesalahan yang pernah dilakukan
brand AS, di mana
browsing hanya dilakukan lewat komputer dan UX yang payah menjadi ciri khas
e-commerce gelombang pertama.
Mal adalah gerbang pertama menuju pengalaman digital
Ada
lebih dari 170 mal di Jakarta, dan keberadaan mal-mal ini memegang peranan penting bagi hajat hidup warganya. Mal adalah tempat mencari hiburan, juga bertemu rekan sekaligus menghabiskan waktu bersama mereka. Tempat ini merupakan pusat aktivitas sosial kaum urban. Padatnya populasi ibu kota Jakarta memberi keuntungan kepada para peritel untuk menjamah ceruk konsumen semacam ini.
Mal Ciputra World. Sumber gambar:
Neo Lu
Faktanya, mal merupakan pintu masuk bagi
brand untuk memperkenalkan pengalaman digital kepada konsumen mereka. Seperti misalnya dengan mengadopsi
beacon (perangkat yang memanfaatkan Bluetooth Low Energy) untuk
memudahkan pencarian lokasi, serta menyesuaikan penawaran berdasarkan jarak, posisi, dan sentimen terhadap suatu
brand. Konsumen bisa mencicipi pengalaman belanja digital dari
smartphone mereka.
Meningkatnya tren model bisnis pesan secara online dan mengambilnya di toko fisik, atau diantar hari itu juga menggunakan layanan
GO-JEK, menjadikan pengalaman berbelanja ritel di toko fisik semakin relevan terhadap pertumbuhan suatu
brand. Indikasi ini diperkuat dengan hasil sebuah penelitian, bahwa
brand yang hanya memiliki toko
online kesulitan membuat konsumennya loyal.
Apa yang mampu ditawarkan brand di Jakarta
Manfaatkan minat terhadap media sosial
Bagi para pengiklan, tingginya minat penduduk Indonesia terhadap media sosial adalah tambang emas untuk meningkatkan pengalaman konsumen dan menumbuhkan benih loyalitas. Terlebih biaya pemasangan iklan di media sosial jauh lebih murah ketimbang melalui TV.
Inisiatif atau kampanye yang diadakan di dalam toko terbukti menjadi cara yang efektif untuk meningkatkan jumlah pengikut. Desainer busana asal AS, Rebecca Minkoff, bekerja sama dengan eBay untuk
membangun toko fisik “rasa” digital yang mampu meningkatkan pengalaman konsumen—alih-alih menggunakan trik murahan seperti mengunggah foto
selfie.
Toko Rebecca Minkoff di Manhattan. Sumber foto:
Co. Create
Toko utama Minkoff menawarkan fasilitas untuk menelusuri macam-macam gaya busana yang kemudian dapat dikirimkan ke ruang ganti untuk dicoba. Di dalam ruang ganti yang mereka sediakan, terdapat cermin interaktif yang memungkinkan konsumen untuk mengatur pencahayaan atau memanggil asisten toko.
Cermin tersebut juga menyediakan rincian mekanisme pembelian busana langsung di ruang ganti tersebut lewat aplikasi mereka. Pengguna juga dapat menuliskan kopi digital baju dan ukuran yang telah mereka coba.
Tentu, setiap prosedur telah terintegrasi dengan kanal media sosial konsumennya, sehingga konsumen dapat membagikan beberapa atau semua momen berbelanjanya kepada sahabat mereka dan meningkatkan tingkat “visibilitas”
brand Minkoff.
Hal menarik lainnya dari digitalisasi toko Minkoff adalah data yang dihasilkannya. “Aplikasi ini mampu menunjukkan apa yang sedang digandrungi konsumen di beberapa toko berbeda, dan
brand dapat segera mengubah pemasaran di toko fisik maupun
online untuk menyesuaikan preferensi tersebut,” seperti dikutip dari situs
CO.Create.
Artinya, jika ada banyak pakaian berbahan denim yang dicoba di kamar ganti di toko-toko New York, penjual dapat mengubah representasi cermin interaktif toko tersebut dan melokalkan kampanye
email untuk mendorong penjualan denim.
Melokalkan dan personalisasi
Teknologi personalisasi adalah wilayah lain yang dapat dimanfaatkan oleh peritel Indonesia untuk memasuki ranah digital. Mereka hanya perlu mengamati
brand seperti
Nike atau
Burberry untuk melihat bagaimana produk mereka dipersonalisasi menggunakan gabungan antara cetak 3D dan
mesh network.
Mungkin yang lebih menarik bagi
brand Indonesia adalah peluang untuk mengkreasikan penawaran toko fisik yang dimodifikasi dan dipersonalisasi bagi konsumennya. Aplikasi iPhone milik peritel
Target secara otomatis menempatkan
item yang posisinya dekat dengan pengguna di urutan paling atas. Teknologi yang diciptakan oleh SapientNitro ini juga menampilkan penawaran yang disesuaikan dengan barang yang biasa dibeli konsumen, atau yang sedang populer di sekitar wilayahnya.
VR, AR, dan inovasi pengemasan produk
Ada kemungkinan kalau toko-toko di mal akan menjadi tempat pertama bagi penduduk Indonesia untuk merasakan inovasi pengalaman dalam
Virtual Reality dan Augmented Reality, terlepas apakah itu produk
gaming, peralatan rumah tangga, atau kecantikan.
Jika penetrasi pengalaman baru tersebut berjalan baik, hal ini dapat mempercepat kehadiran teknologi VR dan AR untuk masuk ke rumah-rumah dan memberi peluang baru bagi
brand untuk merangkul konsumennya. Ini juga bisa menjadi salah satu cara menghindari mahalnya beriklan lewat media tradisional.
Pengemasan produk juga dapat diuntungkan dengan adanya peningkatan teknologi. Interaksi melalui AR
seperti yang dilakukan oleh LEGO hingga
teknologi NFC pada kemasan makanan yang dapat memberi peringatan manakala suhu penyimpanan semakin tinggi atau sudah mendekati masa kedaluwarsa, dapat meningkatkan pengalaman bagi konsumen.
Jakarta siap menjadi pemimpin dalam revolusi belanja
Jakarta tengah mengarungi arus yang tepat. Setelah meraih kesuksesan di kota ini, peritel yang cerdas dapat mengulang kesuksesan tersebut di kota-kota besar lainnya, seperti Makassar dan Surabaya. Dan hal ini akan terjadi dalam waktu yang sangat singkat, jauh lebih cepat dibandingkan dengan apa yang pernah kita saksikan di negara lain.
Namun, untuk bisa mencapai ini, perlu kerja sama dari pihak terkait.
Stakeholder harus mau bereksperimen dengan hal-hal yang belum mereka coba sebelumnya, sehingga kegagalan dapat diantisipasi dan mereka dapat cepat belajar dari percobaan tersebut. Ini artinya mereka harus siap menyiapkan anggaran khusus.
Amati negara-negara di Amerika dan Eropa dan belajar dari kesalahan mereka. Yakinlah pada pemahaman bahwa wawasan lokal selalu mampu mengalahkan pendekatan global. Solusi inovatif terhadap tantangan besar seperti
bandwidth dan keuangan inklusif akan sangat diperlukan, dan mungkin juga lobi terhadap pemerintah.
(Artikel ini pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Inggris oleh Sean Burke-Gaffney. Isi di dalamnya telah diterjemahkan dan dimodifikasi. Diedit oleh Fadly Yanuar Iriansyah)
The post
Mal di Jakarta Diprediksi Menjadi Tempat Belanja Paling Canggih pada 2018 appeared first on
Tech in Asia Indonesia.
sumber: