Saya berbincang dengan Nyoman Wirnata, sopir taksi berusia 30 tahun di Denpasar, Bali. Ia berkisah mengenai kegusarannya terhadap UBER, GO-JEK, dan Grab, perusahaan-perusahaan yang telah merebut mata pencariannya dan menguasai bisnis taksi di Indonesia dalam waktu yang singkat.
Perusahaan tersebut hanya mengenakan tarif hampir satu per lima dari yang biasa ia kenakan kepada penumpangnya—yang kebanyakan berasal dari kalangan turis mancanegara. Dengan tarif semurah itu, tak heran jika banyak wisatawan maupun penduduk setempat yang berpikir dua kali untuk menggunakan jasa taksinya.
“Pernah suatu ketika terjadi baku pukul antara sopir UBER dengan sopir taksi lokal yang berebut penumpang wisatawan asing di dekat Pura Uluwatu,” tutur Nyoman kepada saya.
Bagaimana aplikasi semacam ini memperoleh penghasilan?
Bulan lalu, terjadi aksi unjuk rasa terhadap salah satu layanan taksi berbasis aplikasi ini. Setibanya saya di bandara Ngurah rai, Denpasar, saya dapat merasakan adanya penolakan yang keras terhadap perusahaan transportasi berbasis aplikasi.
Saya memesan UBER. Namun, ketika sopir UBER yang hendak menjemput saya memasuki area bandara, ia dicegat oleh warga lokal yang sepertinya melihat ponselnya terpasang di dasbor. Ia pun menelepon untuk menyampaikan permohonan maaf karena tak bisa menjemput saya.
“Mereka (sopir taksi aplikasi) dilarang memasuki area bandara,” ujar pengemudi taksi lokal, Madeputra Yasa, kepada saya. Karena tak ada pilihan lain, saya pun memutuskan untuk naik taksinya.
Di sepanjang jalan raya dari Denpasar menuju Tanah Lot, saya melihat ada banyak kafe yang memasang tanda, “Grab, UBER, GO-JEK Dilarang Masuk.” Ada perseteruan sengit antara usaha lokal dengan perusahaan teknologi.
Kenapa tidak ikut mencoba aplikasi itu, tanya saya.
“Jika saya bergabung dengan UBER, hotel yang sering menawari saya pekerjaan tak akan lagi menggunakan jasa saya.” ungkap Nyoman.
Sudah bukan rahasia lagi kalau sopir taksi mendapat “uang saku” dari hotel jika dapat membawa penumpang ke hotel yang bersangkutan.
“Apa anda tahu bagaimana mereka memperoleh penghasilan?” tanyanya sedikit bingung kepada saya.
“Untuk tarif satu perjalanan yang saya patok US$7,6 (sekitar Rp98 ribu), mereka hanya mengenakan US$1,5 (sekitar Rp19 ribu.) Saya tak mengerti bagaimana mereka mendapat keuntungan dari situ,” ia berujar heran. Mulai sekarang, Grab bahkan tidak memotong bagi hasil dari sopirnya—tidak seperti Uber. Hal itu membuat orang-orang semakin bingung.
Nyoman benar. Saya pesan GrabCar, dengan tarif hanya US$1,5 untuk jarak yang hampir sama, di saat Madeputra mengenakan tarif US$7,6.
Mungkinkah uang yang mereka miliki bersifat ilegal?
Saya sedang berada di High On Burgers, restoran terkenal di ibu kota India, New Delhi, yang dijalankan oleh tiga bersaudara
Burgernya enak dan harga hanya US$0,60 (sekitar Rp7.800). High On Burgers tidak melayani pesan antar di bawah US$3 (sekitar Rp39 ribu), namun startup pesan antar makanan seperti Swiggy melayaninya.
Tahun ini, Swiggy mendapat pendanaan hingga US$35 juta (sekitar Rp455 miliar).
“Kami siap mengantarkan pesanan meski kamu hanya memesan satu burger paling murah sekalipun yang harganya US$0,50 (sekitar Rp6.500), namun kamu harus memesannya lewat aplikasi Swiggy,” ucap kurir Swiggy. Ia sedang berdiri di antrean untuk memesan makanan dari restoran ini, lalu mengantarkannya ke berbagai wilayah di selatan Delhi.
“Saya sungguh tak paham bagaimana mereka (Swiggy) bisa untung. Sering saya mengantarkan satu burger seharga US$0,50 ke tempat yang jaraknya hampir tujuh kilometer. Waktu tempuh hampir 30 menit karena jalanan yang macet,” tukas Naveen (namanya disamarkan).
“Setidaknya saya mengeluarkan US$0,30 (sekitar Rp3.900) untuk bahan bakar, hanya untuk mengantarkan satu burger saja,” imbuhnya.
Ditambah lagi, Swiggy memberi diskon senilai US$0,76 (sekitar Rp9.880) untuk setiap pemesanan pertama kali jika total harga pesanannya senilai US$2,30 (sekitar Rp29 ribu) atau lebih. Mulai bulan ini, Swiggy mengenakan biaya pengiriman US$0,45 (sekitar Rp5.850) untuk pemesanan di bawah US$1.50 (sekitar Rp19 ribu).
“Mungkin ini cara yang dilakukan orang-orang kaya untuk melakukan money laundry, “ Itulah yang dipikirkan oleh seorang pemilik kedai biryani (makanan India) di lokasi yang sama.
Ia menggunakan Swiggy untuk mengantarkan pesanannya ke wilayah ini. “Mereka (kurir Swiggy) langsung membayar saya, meskipun pelanggan menolak membayar tunai pada saat pengiriman. Ini bukan model bisnis yang menguntungkan,” katanya, tak kalah bingung.
Lebih murah dari layanan konvensional
Malam semakin larut, jam menunjukkan pukul sembilan malam. Saya punya janji makan malam bersama dua orang teman di North Concord, sekitar 64 km dari San Francisco. Hanya ada dua taksi yang memangkal di stasiun. Saya memutuskan untuk memesan Lyft.
Saya hanya perlu membayar US$6 (sekitar Rp78 ribu). “Kamu akan dikenakan tarif US$20 (sekitar Rp260 ribu) jika naik taksi konvensional,” ungkap salah satu teman saya. “Bagaimana mereka dapat menghasilkan keuntungan?” Pertanyaannya senada dengan sopir taksi di Bali dan pemilik kedai biryani di Delhi.
“Kita harus berterima kasih kepada para eksekutif yang menandatangani dana besar di VC dan perusahaan private equity untuk perusahaan aplikasi seperti mereka,” jawab saya.
“Jika tidak, tak mungkin kamu bisa membayar US$6 (sekitar Rp68 ribu) untuk tumpangan sejauh 10 km,” jawab teman saya yang lain.
Baca juga: Bagaimana Pendapat Anda Tentang Uber, Go-Jek, GrabTaxi, Dan Layanan Sejenis?
(Diterjemahkan oleh Faisal Bosnia Ahmad dan diedit oleh Fadly Yanuar Iriansyah)
The post Bagaimana Aplikasi On-Demand Bisa Meraih Keuntungan? appeared first on Tech in Asia Indonesia.
sumber:
0 komentar:
Posting Komentar