Blogger templates

Selasa, 07 Juni 2016

Pendekatan Filantropis ala Mark Zuckerberg yang Memicu Kecurigaan

Ada dua hal yang dicintai di industri teknologi, atau paling tidak yang sering diperbincangkan: Menghasilkan uang dan memperbaiki keadaan dunia. Tentu saja, menghasilkan uang jauh lebih mudah ketimbang membenahi keadaan dunia. Hanya perusahaan-perusahaan terbaiklah yang mampu melakukan keduanya.


Secara tradisional, individu yang makmur biasanya mencanangkan dua tujuan: Membangun perusahaan yang dapat memberi keuntungan finansial, dan mendirikan organisasi amal untuk mencapai tujuan meningkatkan taraf hidup umat manusia.


Bill Gates, Microsoft, dan Gates Foundation adalah contoh yang tepat dari pendekatan tradisional ini. Microsoft, perusahaan Teknologi milik Bill, jelas telah mengubah dunia—dalam artian perusahaan tersebut menjadi penggerak utama revolusi komputer pribadi. Dan Microsoft sukses memberikan Bill kekayaan yang berlimpah.


Namun, Bill sadar bahwa perusahaan yang memberinya keuntungan finansial ini bukanlah kendaraan yang tepat untuk memenuhi ambisinya membuat dunia jadi lebih baik. Sehingga ia dan istrinya, Melinda, mendirikan yayasan nirlaba bernama Bill and Melinda Gates Foundation. Apa yang telah dilakukan Bill bersama yayasannya tersebut mungkin telah memberi pengaruh yang lebih signifikan dibanding saat ia bersama Microsoft.


Microsoft sejatinya merupakan perusahaan komputer. Produk-produk yang dihasilkannya telah mengubah dunia. Namun andai kata Bill tak pernah mendirikan perusahaan tersebut, hampir dipastikan perusahaan lainlah yang akan menggantikan peran Microsoft.


Namun, asumsi yang sama tak berlaku pada Gates Foundation. Lewat gelontoran donasinya yang masif, Gates Foundation tak lama lagi akan memusnahkan virus polio.


Tahun ini, dunia akan menjadi saksi dari kasus terakhir yang disebabkan oleh penyakit mematikan ini. Meskipun semua ini bukan hanya usaha Bill seorang, yayasan yang ia dirikan telah berperan besar.


Namun, apa yang dilakukan Gates Foundation terhadap penyakit malaria mungkin lebih besar lagi pengaruhnya. Penyakit ini membunuh ratusan ribu orang setiap tahunnya. Bill sedang berusaha untuk memusnahkannya dan hasilnya sudah terlihat. Besar kemungkinan sebelum meninggal nanti, ia akan menyaksikan kepunahan dua penyakit mematikan dari dunia ini.


“Saya sangat yakin kalau lima puluh tahun dari sekarang, ia akan dikenang karena kegiatan amalnya,” puji penulis bernama Malcolm Gladwell terhadap Bill.


“Bahkan tak akan ada yang ingat seperti apa perusahaan Microsoft dan semua entrepreneur hebat yang hidup pada era ini. Orang juga akan lupa siapa itu Steve Jobs. Namun, kita akan melihat kemunculan patung-patung Bill Gates di banyak negara dunia ketiga […]”


Pendekatan ala Mark Zuckerberg


Facebook filantropis | Screenshot 1

Sumber gambar: Facebook.



Masih segar dalam benak kita ketika tahun lalu Mark Zuckerberg bersama istrinya bernazar untuk mendonasikan sebagian harta kekayaan mereka (dalam bentuk saham Facebook) dengan tujuan untuk menjadikan dunia sebagai tempat yang lebih baik.


Namun, alih-alih mendirikan yayasan nirlaba seperti Gates Foundation, ia mendirikan yayasan laba berbentuk perusahaan perseroan terbatas atau Limited Liability Company (LLC) bernama Chan Zuckerberg Initiative.


Untuk menjelaskannya, ada beberapa alasan legal yang mendasari pembentukan perusahaan ini, selama orang yang memimpin yayasan ini benar-benar bertujuan untuk mencapai tujuan perusahaan.


Struktur yayasan jenis ini memungkinkan Chan Zuckerberg Initiative untuk menghindari kewajiban yang harus dipenuhi oleh yayasan nirlaba (seperti mendonasikan lima persen dana hibah untuk kepentingan amal). Sederhananya, struktur seperti ini memberi Mark keleluasaan kendali dibanding apa yang akan ia peroleh jika mendirikan yayasan nirlaba.


Tentu, Mark dapat melakukan apapun yang ia mau dengan uangnya. Orang boleh berpendapat kalau kita seharusnya bersyukur bahwa dengan limpahan uang yang ia miliki, Mark mendirikan yayasan Chan Zuckerberg Initiative, ketimbang—misalnya—membangun patung emas berwujud dirinya dalam ukuran raksasa.


Dan jika dikelola dengan baik dan berpegang teguh pada misinya, tentu yayasan ini dapat memberi pengaruh sebesar perusahaan atau yayasan nirlaba lainnya.


Kamu boleh menyebutnya filantropis-gadungan atau filantropis-kapitalis. Ada banyak nama untuk menyebut pendekatan yang dilakukan oleh Mark ini, namun tak diragukan lagi bahwa cara ini sedang menjadi tren.


Tentu saja Mark bukan orang pertama yang membuat yayasan filantropis dengan tujuan mencari laba seperti ini. Bahkan, ini merupakan tren yang sedang berkembang di industri teknologi selama bertahun-tahun. Google dengan Google.org adalah organisasi amal yang mencari keuntungan.


Lalu ada Co-Founder Ebaym Pierre Omidyar yang mendirikan Omidyar Network, dan istri mendiang Steve Jobs yang mendirikan Emerson Collective. Kedua yayasan tersebut juga berbentuk perseroan terbatas. Tren ini bahkan meluas hingga ke Asia dengan kemunculan startup seperti Impact Guru. Mereka tanpa sungkan mengatakan hal itu bertujuan untuk keuntungan perusahaan.


Memberi tanpa memberi


Facebook filantropis | Screenshot 1

Sumber gambar: Pixabay



Dalam dunia yang ideal, di mana organisasi seperti Chan Zuckerberg Initiative berjalan layaknya seperti yang telah mereka janjikan kepada masyarakat—dengan setiap uang yang masuk ke rekening mereka digunakan untuk menuntaskan misi, bukan membahagiakan investor—tak masalah kalau organisasi tersebut berbentuk LLC, jika memang hal tersebut dirasa perlu untuk menunjang kegiatan amal.


Sayangnya, dunia tidak sesempurna itu. Begitu juga mereka yang menjalankan organisasi macam itu. Kegiatan LLC jauh lebih sulit dipantau dibanding perusahaan atau organisasi nirlaba. Artinya jika mereka menggunakan uang yang dimiliki untuk kegiatan lain, bukan kegiatan yang telah dijanjikan kepada kita, kecil kemungkinannya kita akan mengetahuinya.


Pada dasarnya, struktur seperti ini memungkinkan para hartawan teknologi “bersembunyi” di balik propaganda “mendonasikan harta kekayaan untuk dunia yang lebih baik.” Padahal belum tentu mereka mendonasikan uang maupun melakukan gerakan yang membuahkan perubahan nyata.


Ada juga potensi “kawin silang” yang mengkhawatirkan. Sejumlah perusahaan teknologi, seperti Google dan Facebook, dituduh telah menyalahgunakan kegiatan “beramal” mereka sebagai kedok untuk mengumpulkan informasi data atau memasuki pasar yang dianggap berprospek cerah.


Contohnya adalah Google yang menghibahkan Chromebook ke sekolah-sekolah, namun belakangan diketahui bahwa Google mengeruk informasi data lewat perangkat tersebut. Ini menimbulkan pertanyaan, “Apakah mereka tulus dalam mendonasikan perangkat tersebut, ataukah mereka hanya memanfaatkan kesempatan untuk mengambil data yang berharga dari anak-anak sekolah?”


Masalahnya, hal yang membuat beberapa pihak keberatan dengan pendekatan Mark, adalah transparansi. Jika tujuan kamu adalah mengubah keadaan sosial, cukup beralasan jika masyarakat harus mengetahui kegiatan tersebut. Atau paling tidak beritahukan tujuan jelas atas apa yang sedang kamu kerjakan, dan ke mana perginya uang kamu.


Itulah bagian penting mengapa aturan transparansi dalam yayasan nirlaba ada. Dan itu penting. Sebab tujuan amal—yang menurutmu baik, bermanfaat, dan tidak merugikan semua orang—mungkin tak sehebat yang kamu kira.


Demonstrasi penolakan Free Basics di India | Image

Demonstrasi penolakan Free Basics di India. Sumber gambar: Independent



Mark harus belajar dari kasus Free Basics di India dan kegagalan donasinya untuk sistem sekolah publik di Amerika. Namun dalam struktur LLC, upaya amalnya lewat Chan Zuckerberg Initiative kemungkinan akan lebih tidak transparan ketimbang dua program gagal sebelumnya.


Bukan berarti bahwa LLC yang berkecimpung di urusan sosial itu jahat. Ada ruang tersendiri bagi LLC “sosial” dan nirlaba di dunia ini. Dan tidak ada masalah sama sekali dengan kehadiran LLC “sosial.” Namun ada alasan mengapa perusahaan nirlaba punya aturan yang transparan yang mereka patuhi, dan itu semua bukan merupakan mandat dari pemerintah.


Terlebih, perlu diingat kembali bahwa terlepas dari reputasinya di industri teknologi, filantropis “tradisional” dapat jauh lebih efektif. Jika Bill mampu memusnahkan polio dan malaria lewat struktur perusahaan nirlaba, maka Mark maupun raksasa teknologi lain pun pasti bisa melakukannya.


Ingin wujudkan startup kamu, tapi bingung cari pendanaan? Simak kumpulan startup crowdfunding yang ada Indonesia ini.


Juga perlu ditekankan bahwa perusahaan nirlaba tetap dapat mengambil pendekatan modern berbasis VC untuk memenuhi tujuan mereka di banyak negara. Sudah ada membaca sejumlah artikel yang mengatakan bahwa Zuckerberg Initiative merupakan LLC, sehingga mereka dapat berinvestasi kepada startup.


Namun, perusahaan nirlaba juga dapat memiliki saham di perusahaan laba. Mereka juga bahkan dapat memiliki satu perusahaan laba selama perusahaan laba tersebut memiliki struktur yang berbeda, dan perusahaan nirlaba juga terlibat dalam usaha lain—alih-alih hanya menjadi kedok untuk membuat perusahaan laba terhindar dari pajak. Perusahaan nirlaba juga dapat bermain di bursa saham jika mereka mau.



Disconnect merupakan kolom mingguan, wadah bagi Charlie Custer dari Tech in Asia untuk menyibak, menyanggah, serta membeberkan dan membongkar fakta-fakta yang ada di industri teknologi.


(Artikel ini pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Inggris oleh C. Custer. Isi di dalamnya telah diterjemahkan dan dimodifikasi. Diedit oleh Fadly Yanuar Iriansyah)


The post Pendekatan Filantropis ala Mark Zuckerberg yang Memicu Kecurigaan appeared first on Tech in Asia Indonesia.





sumber:

0 komentar:

Posting Komentar