Blogger templates

Rabu, 23 Desember 2015

Bagaimana Tiket Bertahan Tanpa Adanya Pendanaan Besar-besaran







Bagaimana Tiket Bertahan Tanpa Adanya Pendanaan Besar-besaran





Nadine Freischlad
Nadine Freischlad
7 hours ago





Natali-ardianto-co-founder-tiket-indonesia



Natali Ardianto, Co-Founder sekaligus CTO dari Tiket, duduk menghadap saya di ruang rapat yang kecil, didampingi oleh tim PR Tiket. Diluncurkan tahun 2011 silam, situs booking travel ini adalah pemain lama di ranah startup Indonesia.


Lewat situs ini, kamu bisa memesan tiket pesawat, hotel, kereta api, hingga konser. Apa yang menjadikan Tiket begitu terkenal di antara startup yang lain adalah karena, sejauh ini, Tiket belum pernah mendapat kucuran dana dari venture capital.


Startup ini berawal dari pendanaan dari angel investor yang jumlahnya kurang dari $1 juta (sekitar Rp14 miliar), ungkap Natali. Pada tahun 2012, mereka memenangkan sebuah kompetisi startup dan berhasil membawa pulang $25.000 (sekitar Rp350 juta).


Selebihnya, Tiket hanya mengandalkan kemampuan finansial mereka dalam menyeimbangkan pendapatan dan pengeluaran. Serta, fokus terhadap produk inti seperti teknologi yang andal, perencanaan keuangan yang solid, juga dokumen legal yang lengkap. “Bagi kami, hal-hal mendasar seperti itulah yang terpenting,” ujarnya.


“Kami merancang Tiket layaknya korporasi,” Imbuh Natali. “Mungkin jauh berbeda dengan Silicon Valley, tapi kami bertekad membuktikan bahwa metode kami bisa berhasil di Indonesia.”


Baca juga: Kisah Di Balik Kesuksesan Website Booking Online Tiket.com



Pertandingan Maraton


Terakhir kalinya Tech in Asia berkunjung ke kantor Tiket adalah pada pertengahan 2014 lalu. Saat itu, Natali mengungkapkan rencananya untuk melebarkan sayap ke wilayah Asia Tenggara yang lain. Ia juga mengatakan bahwa mungkin Tiket akan coba mencari kucuran dana pada tahun 2015.


Namun kini, satu setengah tahun kemudian—mungkin satu abad kalau dalam istilah startup—wajah perusahaan ini tak banyak berubah. Anggota mereka memang bertambah dari 150 menjadi 230 orang, dan pemasukkan mereka juga “meningkat berkali-kali lipat,” namun rencana ekspansi mereka masih jauh panggang dari api. Saat ini Ia tidak sedang mencari investasi dari pihak luar. “Tentu saja kami sering berbicara kepada para VC,” sambung Natali.


Tiket berkompetisi secara santai. “Bagi kami, ini seperti pertandingan maraton, bukan sprint,” ujarnya.


Natali bersama perusahaannya sadar bahwa masih ada begitu banyak peluang yang belum mereka gali. Selain itu, keuntungan perusahaan mereka belum stabil. “Sejak awal tahun 2013, pendapatan bersih kami melebihi biaya operasional.” ungkap Natali. “Namun, kalau harus jujur, pendapatan kami masih naik turun.”


Jadi yang akan dilakukan Tiket saat ini adalah tetap fokus pada apa yang selalu mereka lakukan: terus meningkatkan efisiensi untuk meraih keuntungan yang tinggi.


Natali yakin, kunci menuju ke sana terletak pada optimalisasi dan otomatisasi. Obsesinya terhadap kedua hal tersebut mampu menghasilkan conversion rate sebesar enam persen, lebih baik dari rata-rata raihan website e-commerce lainnya.


Dengan prinsip serupa, Tiket mampu mengurangi pengeluaran untuk iklan mereka di Google Adsense sebanyak 30 persen tahun ini. Ini dapat dicapai karena mereka tahu mana yang berhasil dan mana yang tidak, serta mengurangi hal-hal yang dirasa tidak efisien.


Harapan yang tak tercapai


Jadi seberapa besar bisnis Tiket saat ini?


Bisa ditebak, Natali menolak untuk mengungkapkan berapa pendapatan bersih perusahaannya. Namun tim PR mempersilahkan Natali jika ingin berbagi data lainnya.


Rata-rata transaksi yang mereka bukukan perharinya adalah 10.000 transaksi. Layanan paling populer adalah tiket penerbangan, mencakup hingga 50 persen volume booking dan pendapatan mereka secara kesluruhan.


Dari jumlah tiket penerbangan yang terjual, 90 persennya didominasi penerbangan domestik, alasan kuat mengapa peluncuran ke Asia Tenggara bukanlah prioritas saat ini. Margin keuntungan Tiket dari hasil penjualan tiket penerbangan berkisar antara empat hingga lima persen.


Tiket paling laris selanjutnya adalah kereta api. Namun margin keuntungan yang didapat dari sektor ini sangat sedikit, sehingga keuntungannya kalah jika dibandingkan pemasukkan yang diperoleh dari tiket hotel.


Hotel menjadi kategori yang menarik karena margin keuntungan mereka meningkat dalam beberapa tahun ini. “Saat kami buka loket ini untuk pertama kali, marginnya adalah 15 hingga 17 persen. Sekarang sudah menyentuh angka 25 persen, bahkan lebih,” ujar Natali.


Satu hal yang mungkin menjadi kendala adalah bepergian merupakan kegiatan musiman, dengan puncak permintaan selama musim liburan dan menurun saat off-season. Natali memberi contoh sebelum Lebaran, tiket kereta api yang terjual mencapai 17.000 lembar.


Untuk memenuhi kebutuhan yang melonjak seperti itu, Tiket mengandalkan teknologi. Mereka mengalokasikan dana pada investasi yang dapat memastikan stabilitas kinerja dalam “pertandingan maraton” ini. “90 hari menjelang Lebaran, tiket kereta sudah mulai dijual dan bisa dipesan. Kami satu-satunya situs yang melayani penjualan pada hari itu,” ucap Natali. “Saya bisa menunjukkan tangkapan layarnya.”


Dalam menjalankan usahanya, Tiket berlangganan tiga ISP (Internet Service Provider) yang berbeda sekaligus. Natali memastikan kalau setiap ISP ini beroperasi pada kabel fiber optik yang berbeda. “Jika satu ISP down, kami secara otomatis mengalihkan sambungan ke ISP yang lain,” jelasnya.


Inside-Tiket-indonesia-travel-site-office-720x540


Membidik konsumen loyal


Posisi pertama dalam hal volume penjualan di Indonesia bukan ditempati Tiket. Traveloka, yang mungkin juga merupakan kompetitor utama mereka, memiliki volume penjualan yang jauh melampaui mereka.


Natali tak terkejut dengan fakta ini.


“Kami tidak memberlakukakan subsidi pada tiket kami, karena itulah kami tak mau bersaing soal harga. Ketimbang menyasar pelanggan yang hanya sekali bertransaksi, konsumen kami kembali empat kali dalam setahun,” ujar Natali. “Kami brand terbaik untuk kelas menengah, yang tak begitu mempermasalahkan soal harga. Kami tak membidik konsumen dengan tingkat loyalitas yang rendah dan mempermasalahkan harga tiket kami,” tambahnya.


Ketimbang menghabiskan uang untuk membuat iklan, Natali lebih suka jalur pemasaran tradisional seperti e-mail. “Kami pernah mengiklankan produk kami di TV, namun kami putuskan cara itu tidak efektif bagi kami,” Jelas Natali.


Namun, pesaing utama mereka tak setuju akan hal itu. Traveloka—yang memperoleh investasi dengan jumlah yang tak disebutkan dari Rocket-Internet lewat Global Founders Capital—merupakan pemuncak daftar e-commerce di Indonesia dalam hal pengeluaran untuk iklan.


Traveloka juga punya strategi yang berbeda soal ekspansi ke luar negeri. Traveloka telah diluncurkan di Thailand dan saat ini iklan TV-nya tayang di negara tersebut.


Startup Korporasi


“Beberapa startup travel online dipastikan mengalami pertumbuhan tahun ini. Banyak yang ingin ikut bersaing.” kata Natali. “Kondisi ini sedikit mirip dengan tahun 2010 – 2011, saat Groupon mulai mengakuisisi beberapa perusahaan yang membuat booming-nya deal site Groupon. Saat itu ada 64 tiruan Groupon yang muncul! Setelah dua tahun berlalu, hanya 12 yang bertahan,” tambahnya.


Natali menegaskan keinginannya agar Tiket dapat terhindar dari siklus booming semacam itu, meski kompensasinya adalah pertumbuhan yang lambat dan brand mereka jadi kurang dikenal. Dalam komunitas startup, Ia dikenal vokal dalam mewanti-wanti para Founder yang ambisius agar tidak terburu-buru menghambur-hamburkan uang. Ia merupakan salah satu inisiator kelompok meetup bernama Startup Lokal, yang sudah berjalan hampir enam tahun. “Saya suka berbagi,” itulah alasannya bergabung dengan kelompok ini.


Kamu mungkin heran kenapa Natali, yang menyandang posisi sebagai CTO Tiket, berbicara atas nama perusahaan, bukan CEO mereka.
Natali menjelaskan kalau itu merupakan keputusan lain yang mereka ambil. Ini mungkin membuat Tiket terlihat lebih korporat dibandingkan startup kebanyakan.


“CEO kami berumur 60 tahun. Ia sangat paham bagaimana menjalankan bisnis. Anggap saja kami seperti Google yang mengusung Eric Schmidt sebagai CEO,” jelasnya.


Namun, meski Tiket lebih suka perencanaan jangka panjang dibanding keputusan yang mendadak, dan lebih memilih pertumbuhan berkesinambungan dibanding pertumbuhan yang tiba-tiba melonjak pada periode tertentu, landasan perusahaan ini dapat berubah sewaktu-waktu.


“Kami masih saling berkumpul, kami juga mengadakan stand-up meeting tiap harinya,” ucap Natali, kemudian tertawa. “Itulah yang kami anggap sebagai rencana jangka panjang yang dapat memicu kami untuk berinovasi, dengan begitu kami berada satu langkah di depan yang lain,” tandasnya.


(Diterjemahkan oleh Faisal Bosnia dan diedit oleh Fadly Yanuar Iriansyah)


 
















Replies









sumber:

0 komentar:

Posting Komentar