Blogger templates

Minggu, 22 Mei 2016

Ketika Video Game Sukses Menjadi Teman Mengobrol daripada Manusia Lain

Sudah cukup banyak film yang menggambarkan tentang manusia yang bisa berkomunikasi dengan kepintaran buatan layaknya mengobrol dengan teman. Mulai dari animasi seperti Big Hero 6 dan Time of Eve (Eve no Jikan), sampai ke film Hollywood seperti Her atau Ex Machina.


Tontonan-tontonan tersebut menyajikan sesuatu yang terasa begitu jauh dari kehidupan sekarang. Tapi tanpa saya sadari, selama beberapa bulan terakhir saya sudah menikmati hal tersebut dari berbagai game yang saya mainkan.


Selama lima bulan pertama di tahun 2016 ini saya telah menamatkan sembilan game, dan tiga di antaranya adalah game yang memaksa saya untuk menikmati perbincangan dengan karakter dalam game. Tiga game yang saya maksud adalah Lifeline, Lifeline: Silent Night, dan Firewatch.


Permulaan dari sesuatu yang sangat potensial


Lifeline | Screenshot 1


Sebelum jauh membahas tentang topik ini, biar saya jelaskan dulu soal tiga game yang saya sebutkan tadi. Lifeline dan Lifeline: Silent Night merupakan seri game yang karakter utamanya adalah diri kamu sendiri. Tiba-tiba saja kamu akan dihubungi oleh seorang astronaut yang terdampar di sebuah asteroid misterius. Hanya dengan teks dan tanpa bantuan visual sama sekali.


Astronaut bernama Taylor ini akan meminta saranmu untuk keputusan-keputusan penting. Apa yang kamu pilih akan menentukan nasibnya, dan segala keadaan krusial ini disampaikan oleh Taylor dengan cara yang sangat menarik. Memberikan kesan seakan-akan Taylor adalah manusia sungguhan yang sedang bercerita kepada kita.


Berbanding terbalik dengan Lifeline yang hanya terdiri dari teks saja, Firewatch merupakan sebuah game dengan visual yang amat sangat menakjubkan. Tapi inti dari kedua seri game ini kurang lebih sama, yaitu eksplorasi dengan komunikasi sebagai elemen utama permainan.


Selain bertema antariksa, ada juga game Lifeline yang bertema fantasi


Dalam Firewatch, kamu akan berperan sebagai Henry, seorang pria paruh baya dengan masalah keluarga yang tengah membebani pikirannya. Untuk melarikan diri dari masalah itu sejenak, Henry memutuskan untuk mengambil lowongan pekerjaan sebagai penjaga hutan di musim panas.


Firewatch | Screenshot 1


Selama menjalankan tugasnya ini, Henry ditemani oleh Delilah, supervisor yang bisa dihubungi melalui walkie-talkie. Sama seperti Taylor, dialog dengan Delilah ditulis begitu apiknya sampai-sampai terasa seperti mengobrol dengan manusia biasa, sesuatu yang saya rasa semakin hari semakin sulit dirasakan ketika kita mengobrol dengan manusia sungguhan sekalipun.


Cek review lengkap untuk Firewatch di sini!


Memang, baik Delilah maupun Taylor bisa menjadi semanusiawi ini berkat kualitas penulisan naskah yang tinggi, bukan karena kepandaian buatan yang canggih. Tapi setidaknya apa yang kedua seri game ini sajikan bisa menjadi gambaran bagaimana masa depan seperti yang biasa kita lihat di kisah fiksi mungkin saja akan terwujud.


Ketika berbicara dengan naskah jauh lebih manusiawi daripada berbicara dengan manusia


Saya pernah menulis tentang bagaimana stiker yang tersedia di berbagai aplikasi chatting membuat percakapan antara manusia semakin tidak bermakna. Setelah memainkan Lifeline serta Firewatch, saya kembali teringat mengenai hal tersebut, dan kontan saya langsung merasa ngeri sendiri.


Line Chat Sticker | Screenshot


Kenapa saya harus merasa ngeri? Karena tidak bisa dipungkiri, momen-momen ketika saya, atau setidaknya persona saya, mengobrol dengan karakter dalam game terasa jauh lebih menyenangkan dan penuh kenangan daripada banyak obrolan yang saya lalui bersama manusia lain secara online.


Ketika saya mengomentari sesuatu yang terjadi dalam Lifeline atau Firewatch, baik Taylor maupun Delilah akan merespons dengan sangat nyata. Bahasa menyedihkannya, kedua karakter tersebut terasa lebih memperhatikan lawan bicaranya daripada ketika saya melihat perbincangan antara dua manusia sungguhan.


Dibandingkan dengan game lain, Firewatch dan Lifeline sukses menyajikan pengalaman yang sangat penuh kenangan tanpa perlu banyak hal yang berlebihan. Cukup menyajikan karakter yang manusiawi dengan baik, dan yang lain tidaklah penting lagi.


Bisa dibilang pengalaman yang saya rasakan dari dua karakter fiksi di dua seri tersebut terasa sudah seperti mengobrol dengan teman SMP yang bersemangat menceritakan kencan pertamanya. Sesuatu yang di usia seperti sekarang ini sudah sangat jarang akan saya rasakan.


Mau dibawa ke mana ke depannya?


Lifeline | Screenshot 2


Baik Lifeline maupun Firewatch adalah pengalaman yang sangat linear. Jauh lebih linear dibandingkan berkomunikasi dengan makhluk hidup lainnya, tapi bukan berarti tidak lebih menyenangkan. Tentunya untuk membuat pengalaman yang disajikan bisa menyamai pengalaman berbicara dengan AI seperti di film, banyak hal yang perlu ditingkatkan dari game seperti Lifeline atau Firewatch.


Apakah game Lifeline yang akan datang bisa mewujudkan dialog yang lebih realistis?


Kemungkinan paling dekat yang bisa terjadi adalah jika karakter yang ada di game seperti ini memiliki opsi dialog yang jauh lebih banyak dari yang ada sekarang, sehingga memberikan ilusi kepandaian buatan tersendiri. Tapi tidak menutup kemungkinan dalam sepuluh tahun atau bahkan kurang, berinteraksi dengan AI dalam game bisa jadi jauh lebih menyenangkan dan penuh makna daripada mengobrol dengan manusia lainnya yang tidak memiliki hubungan khusus dengan kita.


Saat hal itu terjadi, entah saya harus senang atau merasa takut kehidupan kita akan dikuasai total oleh kepintaran buatan yang mungkin saja lebih pintar dari kita sendiri.


(Diedit oleh Iqbal Kurniawan)


The post Ketika Video Game Sukses Menjadi Teman Mengobrol daripada Manusia Lain appeared first on Tech in Asia Indonesia.





sumber:

0 komentar:

Posting Komentar