Blogger templates

Sabtu, 28 Mei 2016

Review Warcraft – Bukti bahwa Kualitas Grafis Bukanlah Segalanya

Warcraft bisa dikatakan merupakan salah satu francis video game paling lama. Pertama kali dunia fantasi Warcraft hadir dalam game RTS berjudul Warcraft: Orcs & Humans di penghujung tahun 1994.


Melihat kesuksesan game pertamanya tersebut, Blizzard kemudian memutuskan untuk mengembangkan beberapa game bergenre baru yang masih berlatarkan dunia Warcraft melalui MMORPG World of Warcraft dan game kartu Hearthstone.


Tidak hanya video game, Blizzard juga memperluas Warcraft ke media lain seperti novel, game tabletop, komik, manga, dan sebuah film live action yang baru saja dirilis. Lantas apakah film arahan Duncan Jones (Source Code) mampu mempresentasikan epos semesta Warcraft dengan cara yang baik dan menghibur?


Sebelumnya perlu kamu ketahui bahwa saya akan mengulas film ini dari kacamata penikmat film pada umumnya. Saya bukanlah seorang penggemar berat dunia Warcraft dan tidak pernah bermain World of Warcraft sebelumnya.


Versi nyata dari Warcraft: The Last Guardian


Review Warcraft | Screenshot 5


Film Warcraft mengambil plot novel ketiga dari serial Warcraft yaitu Warcraft: The Last Guardian karya Jeff Grubb. Bagi yang pernah membaca novel tersebut, tentu kamu akan tahu bahwa film ini mengisahkan pertempuran pertama antara Orc dan ras manusia di Azeroth.


Di bagian awal film, kamu akan melihat rencana jahat yang digagas oleh Gul’dan, seorang Warlock ras Orc, untuk membuka portal menuju Azeroth dengan kekuatan sihir Fel. Di bawah pimpinan Gul’dan, Orc dari berbagai klan berkumpul untuk menyerbu Azeroth guna mencari dunia baru yang pantas ditinggali.


Akan tetapi, terdapat seorang Orc bernama Durotan—yang juga merupakan ketua klan Frostwolf—merasakan konflik internal untuk mengikuti perkataan Gul’dan yang menggunakan sihir Fel. Ia nantinya merasa bahwa Fel itu sendiri dapat menjadi bumerang bagi kaum Orc.


Review Warcraft | Screenshot 8


Kemudian kamu akan melihat kerajaan Stormwind yang sudah bertahun-tahun damai di bawah pimpinan raja Llane Wrynn. Kabar buruk akhirnya datang. Salah satu garnisunnya dilaporkan telah diserang oleh makhluk tidak dikenal. Untungnya, salah satu korban berhasil dibawa pulang untuk diselidiki lebih lanjut.


Khadgar, mantan murid dari Medivh sang Guardian dan penyihir terkuat di Azeroth, menyimpulkan bahwa terdapat sihir yang kuat bernama Fel di balik penyerangan tersebut. Mendengar kabar ini, Khadgar menyarankan Sir Anduin Lothar selaku pemimpin pasukan Stormwind untuk meminta bantuan dari Medivh.


Konflik batin para karakter dan juga penonton


Review Warcraft | Screenshot 2


Secara garis besar jalan cerita yang disampaikan oleh film Warcraft dapat saya pahami dengan cukup baik. Namun, bagi kamu yang masih awam dengan dunia Warcraft mungkin perlu melakukan riset terlebih dahulu. Pasalnya, akan terdapat banyak sekali jargon, serta hubungan antar karakter, yang tidak dijelaskan dengan baik.


Charles Leavitt dan Duncan Jones yang juga sebagai penulis naskah seharusnya mampu menjaga tempo jalannya film dengan menceritakan latar belakang Azeroth atau para karakter pentingnya terlebih dahulu. Hasilnya, film ini terkesan buru-buru.


Misalnya saja Garona, karakter wanita setengah Orc. Namun setengahnya lagi sama sekali tidak diceritakan dengan jelas dalam film. Para penonton yang belum pernah membaca novelnya pasti akan dibuat bingung sepanjang film.


Garona adalah salah satu karakter yang menarik dan berperan penting, tetapi film ini tidak mampu membahas perkembangannya dan latar belakangnya lebih dalam. Hingga keluar bioskop pun saya masih merasa ada yang mengganjal karena masalah yang belum terselesaikan.


Review Warcraft | Screenshot 1


Selain itu, saya merasa terdapat ketidakjelasan konflik yang disampaikan oleh film Warcraft. Duncan Jones terlihat ingin menciptakan beberapa subkonflik selain yang terjadi antara manusia dengan Orc. Namun yang terjadi malah beberapa konflik serba tanggung dan setengah hati.


Sebelumnya kamu dapat membaca bahwa Durotan adalah salah satu tokoh Orc protagonis. Ia dibantu oleh Orgrim Doomhammer yang merupakan sahabat baiknya. Di awal film, kamu akan menyimpulkan bahwa mereka adalah dua protagonis yang akan menentang Gul’dan.


Namun mendekati bagian dari resolusi film, karakter Orgrim seakan menjadi seorang Orc yang memiliki dua kepribadian. Tidak jelas apakah Orgrim akan mengkhianati Durotan, atau ia akan tetap berjuang menentang sihir Fel dari Gul’dan.


Seperti film buatan penggemar dengan bujet besar


Review Warcraft | Screenshot 7


Ketika menggarap film Warcraft, Blizzard Entertainment turut menggandeng rumah produksi Legendary Pictures (Steve JobsJurassic WorldInterstellar) dan Atlas Entertainment (Batman v Superman: Dawn of JusticeAmerican Hustle). Dua nama besar yang tentu sudah tidak diragukan lagi kualitasnya.


Namun fakta yang hadir berkata sebaliknya. Jujur saya merasa bingung ketika menilai arahan visual film ini. Berbekal bujet US$160 juta (sekitar Rp2,1 triliun), film Warcraft mampu memberikan kualitas grafis yang tidak kalah dengan trilogi Lord of the Rings.


Saya cukup suka dengan detail yang dipresentasikan pada karakter Orc, Gryphon, kerajaan Stormwind ketika dilihat dari atas, dan elemen grafis lainnya. Begitu juga dengan suasana ketika peperangan terjadi, kecil maupun besar, yang telah digarap dengan apik dan seru dengan bantuan arahan musik Ramin Djawadi (Pacific RimMedal of Honor).


Review Warcraft | Screenshot 3


Akan tetapi, saya merasa agak aneh dengan kualitas properti serta latar tempat yang tidak dibuat dengan grafis komputer. Entah karena mungkin menghabiskan terlalu banyak uang di grafis, latar tempat yang digunakan terlihat tidak memiliki “jiwa” atau murah.


Suasana yang ingin ditampilkan oleh aktor manusia sungguhan pun terasa membosankan. Ada satu adegan di gudang penyimpanan senjata ketika sedang dalam persiapan perang yang membuat saya mengernyitkan dahi.


Suasana yang seharusnya disampaikan tentu saja panik, takut, dan hiruk pikuk. Akan tetapi apa yang terjadi dalam film Warcraft adalah gudang senjata yang dihuni oleh para prajurit berlarian ke sana kemari dengan kualitas seni peran yang buruk.


Review Warcraft | Screenshot 6


Satu lagi, arahan sinematografi (seni kamera) untuk adegan jarak dekat Duncan Jones tidak seperti yang ia lakukan dalam film Source Code. Beberapa kali saya merasa terganggu dengan banyaknya perpindahan kamera kasar ketika bertarung, dan close up karakter yang tidak perlu.


Penasaran dengan World of Warcraft? Kini kamu dapat memainkannya secara gratis!


Bahkan menurut saya, serial web Street Fighter buatan penggemar berjudul Street Fighter: Assassin’s Fist masih lebih baik dalam aspek cerita, seni kamera, dan adu peran.


Satu lagi kegagalan adaptasi film dari video game


Para penggemar semesta Warcraft akhirnya dapat menyaksikan karakter fantasi beraksi secara nyata. Adegan peperangannya terasa seru, dan hasil animasi grafisnya pun terlihat sangat detail.


Bagi saya, Warcraft adalah film yang buruk. Masih terdapat ruang untuk peningkatan dari segi penyampaian konflik, seni peran, dan editing. Banyak hal yang belum terselesaikan dan menjadi rasa ketidakpuasan tersendiri ketika meninggalkan bioskop.


Review Warcraft | Screenshot 9


Sepertinya sangat sulit untuk mengadaptasi video game ke dalam layar lebar. Street Fighter, Tekken, Resident Evil, Hitman: Agent 47, hingga Warcraft adalah contoh dari kegagalan banyak pihak yang berusaha mematahkan mitos bahwa tidak ada film bagus dari video game.


Di akhir tahun ini, akan ada film Assassin’s Creed yang dibintangi oleh Michael Fassbender (Steve JobsX-Men: Apocalypse) serta film Uncharted yang direncanakan akan rilis pada tanggal 30 Juni 2017. Semoga dua film tersebut akhirnya dapat mematahkan mitos bahwa film yang diangkat dari video game selalu berakhir buruk.


(Diedit oleh Fadly Yanuar Iriansyah)


The post Review Warcraft – Bukti bahwa Kualitas Grafis Bukanlah Segalanya appeared first on Tech in Asia Indonesia.





sumber:

0 komentar:

Posting Komentar