Blogger templates

Rabu, 08 Juni 2016

Membongkar 5 Mitos yang Keliru tentang Konten Bersponsor

Iklan digital telah berevolusi. Dengan lengsernya penguasa lama, yaitu banner ad, ranah iklan digital kini dikuasai “monster” yang bernama content marketing. Perusahaan berlomba-lomba membuat konten bersponsor yang tidak sekadar untuk dibaca, tetapi juga disukai oleh audiensnya sehingga mereka semakin dikenal oleh publik.


Salah satu produk dari content marketing adalah konten bersponsor (sponsored content). Brand mempekerjakan media yang akan membuat dan mendistribusikan konten berkualitas untuk mereka. Walaupun didesain untuk dapat berbaur dengan konten lain seperti halnya native advertising, konten bersponsor tidak harus bermuatan promosi. Ini memberikan brand dan media keleluasaan untuk bereksperimen dengan konten yang mereka buat.


Buzzfeed adalah salah satu contoh media yang mahir dalam membuat artikel click-bait. Artikel mereka penuh dengan GIF, dan ini berlaku juga untuk konten bersponsor yang melebur sempurna dengan artikel reguler mereka yang juga sarat dengan GIF. Sementara New York Times memiliki T Brand Studios, tim khusus untuk menangani konten bersponsor.


Bahkan di Tech in Asia Indonesia, kami juga memiliki Brand Pulse, sebuah divisi khusus yang berdedikasi untuk membuat konten yang edukatif, inspiratif, kredibel, dan didukung oleh berbagai brand yang ahli di bidangnya.


Walau begitu, dengan munculnya konten bersponsor, muncul juga ketidakpercayaan dan skeptisisme di kalangan audiens. Untuk menghilangkan keraguan tersebut, kami akan membongkar dan mematahkan lima mitos yang selama ini menggelayuti konten bersponsor.


Konten bersponsor adalah hal yang baru


5MitosKontenBersponsor|Image 1

Sumber gambar: Pixabay



Terlepas dari istilahnya, konten bersponsor bukanlah hal yang baru. Native ad bahkan telah ada sejak awal abad ke-19. Salah satu contohnya adalah tulisan Theodore MacManus untuk brand Cadillac, The Penalty of Leadership, garapan sebuah advertising agency yang tampil mengisi ruang iklan surat kabar.


Pada tahun 1930, untuk menjangkau para ibu rumah tangga, produsen sabun seperti Procter & Gamble, Colgate-Palmolive, dan Lever Brothers membuat serial bersponsor di radio dan televisi yang menjadi cikal bakal “opera sabun.”


Walau opera sabun pertama itu ditujukan sebagai sarana promosi para produsen sabun (seperti misalnya opera sabun radio pertama, Painted Lives, yang disponsori oleh sabun cuci “new Duz”), ini kemudian berkembang menjadi salah satu jenis hiburan yang paling populer sepanjang masa.


Tidak ada yang membaca konten bersponsor


5MitosKontenBersponsor|Image 2


Ketika banner ad yang mengidap consumer banner blindness—penyakit yang menjadikannya tidak terlihat oleh pembaca, konten bersponsor justru semakin memperlihatkan taringnya. Walaupun kini pembaca semakin peka terhadap konten bersponsor, logo brand yang tertera dalam sebuah artikel tidak serta merta mengurangi daya tariknya. Terlebih apabila konten yang diproduksi tetaplah relevan dan memiliki narasi yang menarik.


Pada Juni 2014, The New York Times membuat artikel naratif tentang penjara wanita untuk mempromosikan acara televisi terbaru Netflix, Orange is the New Black. Terlepas dari bayang-bayang label sponsor, artikel ini berhasil meraih 145.000 impresi menurut perusahaan pengukur efektivitas Nudge.


Situs lifestyle asal Malaysia, Says.com, juga berhasil mendulang sukses melalui konten bersponsor. Pada Juni 2015, Business Insider Singapore melaporkan bahwa artikel bersponsor yang dibuat untuk Pampers di Malaysia berhasil mengumpulkan 1,02 juta pembaca, dan masih terus bertambah hingga satu tahun setelah artikel tersebut dipublikasikan.


Konten bersponsor adalah upaya beriklan yang terlalu mencolok


5MitosKontenBersponsor|Image 3


Iklan pada dasarnya memang untuk mempromosikan produk. Mereka didesain agar dapat menginspirasi konsumen untuk melakukan perilaku tertentu, mulai dari membeli produk hingga mengunjungi situs. Sedangkan native ad merupakan pesan promosi yang didesain sedemikian rupa sehingga dapat berbaur dengan konten reguler yang ada dalam sebuah situs.


Label “sponsored content” inilah yang menjadikannya sedikit tricky. Para penerbit mendefinisikan konten bersponsor dengan artian mereka sendiri, jadi mungkin saja akan ada konten bersponsor di luar sana yang ternyata sejatinya adalah iklan. Bahkan menurut sebuah studi dari Contently, sebanyak 12,6 persen artikel dari situs berita online yang berlabel “sponsored content” ternyata memang ditulis langsung oleh sponsor sendiri.


Mitos ini, yang menyatakan bahwa konten bersponsor adalah bentuk lain dari native ad, “seakan-akan” menjadi benar. Walau begitu, 87,4 persen artikel bersponsor lain yang ditulis oleh tim editorial menyimpulkan bahwa konten bersponsor tidak harus menjadi mitos.


Para ahli di bidang ini mengatakan hal berikut. Konten berkualitas yang ingin menyampaikan informasi ketimbang berpromosi, menciptakan pengalaman membaca yang luar biasa, serta transparan terhadap tujuan mereka, terbukti lebih berhasil daripada advertorial yang tersembunyi. Kecantikan dari konten bersponsor tersebut justru terletak di sisi editorialnya.


Jadi, apabila kamu adalah brand, jangan tergoda untuk membuat konten bersponsor dengan tujuan menjual produk. Bekerjalah dengan para media, sehingga kamu akan memiliki “peralatan” untuk mengerti audiens mereka, dan mengetahui hal apa yang akan bekerja dan mana yang tidak. Gunakan kesempatan yang ada untuk “mendengarkan” keinginan audiens.


Konten bersponsor hanya berhasil apabila ia “menyamar”


5MitosKontenBersponsor|Image 4

Sumber gambar: Pixabay



Banyak brand yang masih percaya bahwa konten bersponsor hanya dapat dibilang berhasil apabila terlihat seperti artikel berita biasa. Kepercayaan ini dapat dimaklumi. Menurut Contently, ada sebuah stigma tentang konten bersponsor. Sebanyak 66,42 persen responden pada sebuah survei yang dilakukan pada tahun 2014 mengatakan bahwa mereka cenderung untuk tidak mau melihat artikel yang disponsori oleh brand.


Walau begitu, menyembunyikan fakta bahwa artikel tersebut memang disponsori dapat membuat impresi pembaca menjadi lebih buruk—baik untuk penerbit maupun untuk brand. Jangan pernah meremehkan konsumen kamu dan kemampuannya untuk mengungkap adanya “main mata” antara  tim editorial dengan brand.


Sebagian besar dari content marketing merupakan perwujudan emosional, dan apabila pembaca menyadari bahwa sebuah brand ternyata membayarmu untuk menuliskan artikel yang “menyamar,” mereka akan merasa dikecewakan dan dikhianati. Ini akan menjadikan mereka memandang buruk brand tersebut.


Daripada harus menyembunyikan advertorial di tengah-tengah konten orisinal, akan lebih baik jika media dan brand transparan kepada pembaca. Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh IAB dan Edelman, pembaca lebih menerima konten bersponsor ketika konten tersebut relevan, otoritatif, dan terpercaya.


Konten bersponsor tidak menghadirkan manfaat untuk pembaca


5MitosKontenBersponsor|Image 5


Konten bersponsor tentunya memberikan keuntungan bagi para perusahaan yang telah mengeluarkan uang untuk biaya promosi. Namun kamu juga dapat membuatnya agar memberikan manfaat bagi pembaca.


Melalui konten bersponsor, media dapat menghadirkan informasi yang biasanya tersembunyi di dalam belantara korporat, untuk disajikan kepada publik. Sebuah insight tentang penggunaan aplikasi di tengah masyarakat Indonesia adalah salah satu contoh yang menarik.


Konten bersponsor juga memungkinkan penerbit untuk membuat tulisan yang lebih mendalam dari biasanya. Jadi, apabila kamu sedang menjalankan sebuah perusahaan dan berencana untuk bekerja sama dengan penerbit dalam membuat konten bersponsor, lakukan dengan maksimal. Sebagai contoh, konten berbayar yang dibuat Wired untuk Netflix penuh dengan gambar interaktif, polling, dan video yang didesain khusus untuk memanjakan pembaca.


Konten bersponsor, apabila dilakukan dengan benar, dapat memberikan manfaat bagi brand, penerbit, dan pembaca. Brand akan dapat bercerita dengan efektif, penerbit akan mendapatkan lebih banyak materi, dan pembaca akan mendapatkan konten yang menghibur serta informatif.


Ingin tahu lebih banyak?


Jika kamu ingin tahu lebih banyak tentang content marketing, silakan isi formulir di bawah ini. Kami akan memberi tahu kamu apabila ada konten dan insight terbaru tentang content marketing. Jangan sungkan juga untuk beri tahu kami tentang apa yang ingin kamu pelajari pada kolom komentar di bawah!




Brand Pulse adalah cara Tech in Asia Indonesia untuk menyajikan konten bersponsor. Tim Brand Pulse kami bekerjasama dengan berbagai brand terkemuka untuk menciptakan konten yang mendidik, informatif, serta kredibel untuk audiens kami. Untuk mengetahui informasi lebih lanjut, silakan kunjungi halaman brandpulse.techinasia.com atau kirimkan pertanyaan kamu ke bdid@techinasia.com.


 (Artikel ini pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Inggris oleh Annie Teh. Informasi dalam artikel telah diterjemahkan dan dimodifikasi; diedit oleh Fadly Yanuar Iriansyah dan Mohammad Fahmi)


The post Membongkar 5 Mitos yang Keliru tentang Konten Bersponsor appeared first on Tech in Asia Indonesia.





sumber:

0 komentar:

Posting Komentar