Blogger templates

Kamis, 25 Februari 2016

Alasan Mengapa Dua Pria Dominan Tak Boleh Memimpin Startup yang Sama

Saya pernah berbincang dengan Asha Jadeja, istri dari mendiang Rajeev Motwani, seorang mentor bagi kedua pendiri Google, Larry Page dan Sergey Brin, di sela-sela kunjungannya ke Delhi dari Silicon Valley.


Ketika kami sedang berdiskusi mengenai kewirausahaan, muncul satu topik serius: Bisakah dua alpha male, atau kita sebut saja pria dominan, bekerja sama sebagai co-founder dalam satu tim? Haruskah mereka diberi masing-masing separuh kekuasaan? Bagaimana Asha menyelesaikannya jika ia menghadapi situasi itu?


Asha pun lekas menimpali: “Itu merupakan resep kegagalan. Ketika sedang membimbing, kami akan segera tahu siapa yang dominan.”


Baca juga: Founder Startup Harus Seorang Tech Guy? Ya atau Tidak?



Hanya ada satu pemimpin sejati


Saat menghadapi suatu konflik, para dewan umumnya lebih memilih pria dominan ketimbang yang bukan. Sehingga, saat terjadi konflik, pemimpin yang tidak dominan lebih mungkin “ditendang” dari tim.


“Sangat penting bagi investor untuk bertemu langsung dengan founder dan mengidentifikasi siapa yang paling dominan di antara mereka,” sambung Asha, yang juga merupakan investor startup di India, salah satunya Lookup.


Dua orang yang memacu kuda yang sama ke arah berlawanan bisa membawa petaka, baik itu co-founder maupun pebisnis pada umumnya.


Lihat saja perusahaan-perusahaan yang sukses di dunia. Nama yang diberi tanda kurung adalah pria yang terkenal paling dominan di perusahaannya:


Apple – Steve Wozniak dan (Steve Jobs)
Microsoft – Paul Allen dan (Bill Gates)
Netflix – (Reed Hastings) dan Marc Randolph


Baca juga: 5 Kualitas yang Harus Dimiliki Founder Startup


Sahabat membagi ekuitas sama rata. Berhasilkah?


Sebagian investor menyarankan agar tim yang dipimpin oleh dua sekawan harus membagi saham sebesar 49:51 saat memulai perusahaan. Biasanya, sebagian besar orang menyarankan untuk memberi saham ekuitas sesuai kinerja masing-masing.


Hanya saja, dalam hubungan pertemanan, hal seperti itu jarang terjadi dan biasanya mereka lebih memilih membagi saham secara merata. Menurut beberapa pihak, itu kemudian menjadi masalah.


“Saya sendiri akan menyarankan untuk sedikit mengubah rasionya menjadi 45:55. Sehingga, hak veto sudah semestinya hanya berada di satu pihak,” imbuh Deepinder Goyal, co-founder dan CEO dari Zomato.


Namun, Deepinder menegaskan kalau ia tak pernah sekalipun menggunakan hak vetonya.


“Saya dan Pankaj Chaddah (sesama Co-Founder Zomato) malah lebih sering saling mendukung pendapat satu sama lain. Telah terjalin tali persahabatan yang kuat di antara kami,” ucapnya. Persahabatan mereka memang telah terbentuk selama bertahun-tahun.


Pernah menjadi kolega di Bain Consulting yang bermarkas di Gurgaon, India, Deepinder dan Pankaj sering mengoleksi menu makanan dari berbagai restoran. Menu yang mereka koleksi akhirnya menjadi modal saat mereka membuka Zomato pada tahun 2008.


“Saya tak begitu suka jika ada co-founder yang bertemu pada suatu acara konferensi kemudian memulai bisnis bersama, “ ungkapnya.


Belum lama ini, Harshvardhan Mandad, CEO dari TinyOwl, berbicara kepada saya. Ia mengatakan bahwa pada akhirnya pendapat CEO lah yang menang.


“Jika co-founder saling beradu argumen mengenai berbagai keputusan, pasti akan banyak waktu yang terbuang. Kesimpulannya, CEO bertanggung jawab atas setiap kesalahan yang dilakukan oleh pegawai ataupun pelanggannya,” ucap Manda.


Kendati perusahaan tersebut memiliki lima co-founder, Harsh mendapat kritikan dari media, pegawainya, dan bahkan dari komunitas startup saat perusahaannya memutuskan untuk memberhentikan ratusan pegawainya tahun lalu.


Baca juga: Tiga Tip Dari Founder DeNA Untuk Para Entrepreneur Muda


Memilih ekuitas atau kesuksesan bisnis


Bagaimana jika keberadaan co-founder lain tak menambah nilai jual suatu bisnis? Saya menanyakan hal ini kepada CEO Freecharge Kunal Shah. Ia menjawab: “Sebagai seorang wirausahawan, kita antara bersaing dengan co-founder untuk memperoleh ekuitas yang lebih banyak atau sukses dalam berbisnis. Kita hanya bisa memilih salah satu,” tukasnya.


Kunal telah menjual perusahaannya kepada Snapdeal tahun lalu dengan nilai yang ditaksir mencapai $400 juta (sekitar Rp5,4 triliun). Ia mendirikan Freecharge bersama dengan mantan bosnya.


Pebisnis yang mengambil alih startup-nya—Kunal Bahl, CEO Snapdeal—pernah berkata kepada saya setelah melakukan dilusi beberapa saham, atau penurunan porsi kepemilikan pemegang saham yang sudah ada sebagai hasil dari penerbitan saham baru, yang berpihak pada investor:


Kamu bisa memiliki sesuatu yang besar namun bernilai kecil, atau sesuatu yang kecil namun bernilai sangat besar.



Co-founder wajib membahas pembagian ekuitas


Prashant Raj, yang berpisah dari Co-Founder The Viral Fever Arunabh Kumar dan kini sedang menghadapi kasus hukum di pengadilan tertinggi India di Bombay, punya sedikit nasihat.


“Meski dirasa kurang mengenakkan, pembagian ekuitas wajib didiskusikan. Nilainya harus dibagi berdasarkan risiko yang dipikul dan tingkat kontribusi terhadap bisnis dari masing-masing pihak,” ujarnya.


Co-founder yang bekerja di perusahaan A, namun juga memiliki memiliki pekerjaan di tempat lain, tidak sepantasnya menyandang status co-founder di perusahaan A meski ia berinvestasi di situ. Uang yang ia simpan bisa dianggap sebagai utang bagi perusahaan.


“Jika mereka menyambi pekerjaan hingga VC menyuntikkan investasi, lalu kembali bekerja bagi perusahaan secara purna waktu, mereka tak memikul risiko yang tinggi dibandingkan co-founder lain yang fokus pada perusahaan tersebut. Mereka hanya pantas mendapat pembagian saham yang setara dengan pegawai-pegawai pertama,” ujar Co-Founder Periscope Data, Khalid Bajwa, yang selengkapnya bisa kamu lihat di sini.


Kalkulator ekuitas yang canggih ini dapat membantu kamu menentukan berapa persen yang harus diberikan kepada masing-masing co-founder.


Dalam bisnis, yang namanya urusan hitam di atas putih memang penting, namun rasa saling menghormati jauh lebih penting. “Rasanya seperti menikahi seseorang. Kamu mungkin menandatangani banyak perjanjian. Namun jika tak ada rasa saling menghargai, pernikahan tersebut takkan bertahan lama,” pungkas Prashant.


Buatlah persetujuan antar co-founder


Memiliki co-founder yang tak berperan aktif dalam bisnis maupun tidak memiliki tujuan yang sama memang menyebalkan. Sebaiknya, putuskan saja hubungan bisnis semacam itu sesegera mungkin.


Lazimnya, satu co-founder terus melakukan pekerjaannya, sedangkan co-founder lain mengambil keputusan. Menurut pengacara, bukan hal yang bagus jika masing-masing co-founder memiliki 50 persen saham.


Perjanjian antar pemegang saham dapat menyelesaikan masalah tersebut. “Perjanjian co-founder harus mencantumkan dengan jelas perihal struktur kepemimpinan, struktur pembagian saham, kepemilikan atas hak kekayaan intelektual, penyelesaian masalah deadlock, exit tiap-tiap co-founder, pelarangan pindah kerja, dan lain sebagainya,” urai Aditya K Singh, yang berprofesi sebagai pengacara di TMT Law, lembaga penasehat hukum startup teknologi, media, dan telekomunikasi.


Tidak adanya perjanjian antar teman ketika awal mendirikan bisnis dapat berujung perselisihan, terutama jika bisnis tersebut memerlukan perhatian khusus atau mulai menghasilkan pemasukan.


“Tujuan utama dari perjanjian ini tak lain adalah untuk menyamakan visi antar para pendiri dan agar waktu tak terbuang akibat perselisihan yang tidak perlu,” ujarnya menutup perbincangan.


Baca juga: 5 Tip Untuk CEO dan Founder Muda


(Diterjemahkan oleh Faisal Bosnia Ahmad dan diedit oleh Fadly Yanuar Iriansyah)


The post Alasan Mengapa Dua Pria Dominan Tak Boleh Memimpin Startup yang Sama appeared first on Tech in Asia Indonesia.





sumber:

0 komentar:

Posting Komentar