Rumor mengenai rencana LINE yang ingin melakukan IPO telah berembus kencang selama hampir tiga tahun. Dilansir dari Reuters yang memuat data dari IFR (International Financing Review), nilai yang awalnya diduga senilai US$10 miliar (sekitar Rp130 triliun) dapat menyusut menjadi US$3 Miliar (sekitar Rp39 triliun).
Masih dari sumber yang sama, LINE Corp, perusahaan asal Jepang di balik aplikasi chatting ini, berencana membidik IPO senilai US$3 miliar (sekitar Rp39 triliun) di bursa saham Wall Street (New York) dan Nikkei (Tokyo). Mereka berharap rencana ini dapat terealisasi sebelum musim panas berakhir, atau sekitar kuartal kedua tahun ini.
Seorang juru bicara dari perusahaan media sosial yang merupakan bagian dari Naver, portal internet terbesar asal Korea Selatan, mengatakan bahwa ada beberapa opsi yang sedang dipertimbangkan. Namun sejauh ini belum ada keputusan yang diambil.
Sebelumnya, LINE sempat memutuskan untuk menunda rencana IPO senilai US$10 miliar (sekitar Rp130 triliun) pada bulan September 2014 lalu. Kemudian, pada bulan April tahun 2015, Nikkei mengabarkan bahwa LINE kembali mendaftarkan nama perusahaan mereka pada bursa saham Tokyo untuk memulai prosedur IPO.
Apakah IPO langkah yang tepat?
Namun ada persoalan yang cukup serius. Bukan hanya perihal rumor menyangkut valuasi perusahaan yang berubah-ubah dalam kurun waktu tertentu, LINE kini tak lagi digandrungi dan sepopuler dulu. Mereka sedang bersusah payah meraih pertumbuhan.
LINE hanya mampu mendongkrak 10 juta pengguna aktif bulanan (monthly active user) pada kuartal pertama hingga ke empat tahun lalu. Untuk layanan berskala global, jumlah tersebut sangat mengkhawatirkan. LINE hanya berhasil menjaring sedikit pengguna setiap harinya, jumlah tersebut tak ada apa-apanya dibandingkan WhatsApp.
Saat ini, Facebook dengan WhatsApp sukses membuat LINE kelimpungan. WhatsApp berhasil menggandakan MAU mereka dalam dua tahun terakhir.

Kendati demikian, LINE mampu mengantongi pendapatan senilai lebih dari US$1 miliar (sekitar 13,1 triliun pada 2015 dan menegaskan dominasinya sebagai penerbit aplikasi dengan pendapatan terbanyak di dunia selama tiga tahun berturut-turut. Sebagian besar pendapatan mereka berasal dari platform gaming, stiker, merchandise, dan layanan mereka lainnya.
Pada tahun lalu, terlihat bahwa LINE semakin sulit melepas ketergantungannya terhadap empat pasar utama mereka yakni Jepang, Taiwan, Thailand, dan Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa LINE tak mampu menjaring pengguna di negara lain yang tren penggunaan smartphone-nya sedang booming, contohnya India dan Brasil. LINE diblokir di Cina, namun kala itu LINE memang telah babak belur oleh WeChat.
Dengan masalah yang kini sedang mereka hadapi, seperti stagnannya pertumbuhan pengguna dan keputusan mereka pada awal pekan ini untuk menutup LINE Mall di Jepang, rasanya saat ini bukan waktu yang tepat untuk melakukan IPO—mengingat situasi malah tidak lebih baik dari tahun 2014 atau 2015.
Terlepas dari itu semua, saham-saham perusahaan teknologi memang sedang terpuruk di bursa saham. Mungkin ada baiknya LINE tidak berharap terlalu banyak, meski mereka telah memangkas target IPO secara besar-besaran.
(Diterjemahkan oleh Faisal Bosnia Ahmad dan diedit oleh Fadly Yanuar Iriansyah)
The post LINE Bidik IPO Rp39 Triliun, namun Jalan Terjal Menanti Mereka appeared first on Tech in Asia Indonesia.
sumber:
0 komentar:
Posting Komentar