Blogger templates

Senin, 30 November 2015

3 Hambatan yang Dihadapi Jakarta dalam Menerapkan Smart City







3 Hambatan yang Dihadapi Jakarta dalam Menerapkan Smart City





Jakarta



Tak hanya sebagai ibukota, Jakarta juga merupakan kota terbesar di Indonesia. Luas wilayahnya mencapai 661 km2 dengan jumlah penduduk lebih dari 10 juta orang. Demi memberikan pelayanan yang maksimal dan efisien untuk seluruh warganya, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang akrab disapa Ahok mencanangkan Jakarta Smart City begitu ia mulai menjabat di akhir 2014 lalu.


Untuk mewujudkannya, Ahok pun membentuk sebuah Unit Pelaksana Teknis (UPT) smart city pada tanggal 2 Februari 2015, yang saat ini dipimpin oleh Setiaji. Agar konsep smart city bisa segera diwujudkan di Jakarta, Ahok telah menyiapkan anggaran sebesar Rp857 juta untuk pembuatan masterplan smart city dan dana Rp34,7 miliar untuk menerapkannya. Namun, dalam perjalanannya yang hampir mencapai setahun, program Jakarta Smart City dinilai belum sukses.


Dalam acara Talk Session yang diadakan di EV Hive, Jakarta, Selasa (24/11), Michael Sianipar, asisten pribadi Ahok, mengatakan kalau ada beberapa hambatan yang dialami Jakarta dalam penerapan smart city. Hambatan itu adalah rendahnya partisipasi publik, kurangnya sumber daya manusia, dan minimnya infrastruktur pendukung.


Rendahnya partisipasi publik


Tampilan dari aplikasi KawalAPBD

Tampilan aplikasi KawalAPBD



Sebagai ibukota negara, Jakarta juga menjadi pusat pemerintahan dan pusat ekonomi Indonesia. Dari total perputaran uang di Tanah Air, 60 persen di antaranya terjadi di Jakarta. Oleh karena itu, menurut Michael, Jakarta punya anggaran pembangunan yang sangat besar, mencapai Rp70 triliun.


“Dana besar tersebut sangat rawan untuk disalahgunakan. Oleh karena itu, salah satu fokus dari smart city adalah bagaimana membuat data anggaran menjadi transparan,” ujar Michael.


Itulah yang mendasari dibuatnya aplikasi KawalAPBD. Dengan aplikasi ini, semua orang bisa melihat dan mengkritisi seluruh rencana pengeluaran, baik yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta, maupun yang telah disetujui dan akan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta.


Sayangnya, menurut Michael, partisipasi masyarakat untuk mengkritisi rencana pengeluaran tersebut sangat rendah. Hal yang sama juga terjadi dengan Qlue, padahal masyarakat Jakarta seharusnya sudah bisa melaporkan masalah yang terjadi di tiap wilayah dengan aplikasi mobile tersebut.


“Kita sudah membuat semua fasilitas itu, tapi penduduk Jakarta yang memanfaatkannya masih sangat jarang,” ujar Michael.


Baca juga: Penggunaan Internet of Things (IoT) untuk Pengembangan Smart City di Indonesia


Isu Sumber Daya Manusia


Michael Sianipar, Asisten Pribadi Ahok, dalam acara Talk Session di EV Hive

Michael Sianipar, Asisten Pribadi Ahok, dalam acara Talk Session di EV Hive



Hal lain yang menghambat penerapan smart city di Jakarta adalah kurangnya orang-orang yang mampu membuat perencanaan baik dan merealisasikannya. Di sisi lain, Pemda Jakarta tidak diperbolehkan untuk merekrut para profesional untuk melakukannya.


Salah satu langkah Ahok untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan membuka kesempatan magang selama tiga bulan di kantor Gubernur DKI Jakarta. Selama tiga bulan, orang-orang yang terpilih akan dibagi menjadi beberapa tim.


Mereka akan diminta untuk membuat proyek-proyek yang bermanfaat, termasuk yang berkaitan dengan smart city. Sejak mulai berjalan pada tahun 2013, ratusan orang selalu mendaftar di setiap periodenya.


“Keuntungan utama dari mengikuti program magang ini adalah akses langsung terhadap semua data yang ada di kantor pemerintah DKI Jakarta, serta kesempatan untuk berhubungan langsung dengan Pak Gubernur,” ujar Michael.


Minimnya infrastruktur pendukung


Taman Suropati, salah satu taman di Jakarta yang telah dilengkapi Wi-Fi (Sumber: disanagimana)

Taman Suropati, salah satu taman di Jakarta yang telah dilengkapi Wi-Fi



Hal lain yang juga menghambat terwujudnya mimpi Jakarta Smart City adalah kurangnya infrastruktur yang mendukung. Pemda DKI Jakarta sebenarnya telah mencoba mengatasi hal tersebut, salah satunya dengan cara memasang Wi-Fi di enam taman publik di Jakarta, serta di tiga Taman Pemakaman Umum (TPU).


Selain itu, Pemda DKI Jakarta juga tengah membangun sebuah Command Center di kantor Gubernur DKI Jakarta (Balaikota), untuk memantau segala hal yang terjadi di Jakarta secara online. Command Center ini dibangun dengan biaya sebesar Rp30 miliar dan dilengkapi dengan co-working space yang bisa digunakan oleh startup-startup yang tertarik untuk memanfaatkan data-data pemerintahan di DKI Jakarta.


Baca juga: Jakarta Smart City Membuka Kesempatan Kerja Sama dengan Startup Lokal


Mengubah UPT smart city menjadi Badan Usaha


Saat ini, UPT smart city berada di bawah Dinas Komunikasi, Informatika, dan Kehumasan DKI Jakarta. Menurut Michael, hal itu dirasa kurang tepat, karena pelaksana smart city seharusnya bisa mengkoordinasikan beberapa dinas, bukan berada di salah satu dinas.


Itulah mengapa, di kemudian hari, UPT smart city ini diharapkan bisa berubah menjadi sebuah Badan Usaha, agar bisa lebih cepat dalam memberikan pelayanan publik yang baik dengan solusi teknologi terbaru. Hal seperti ini telah diterapkan oleh Singapura dengan membuat perusahaan NCS untuk menangani penerapan smart city di negara tersebut.


Bagaimana pendapat kamu tentang penerapan smart city di Jakarta? Apakah sudah berjalan dengan baik? Apa masukan kamu untuk program Jakarta Smart City?


(Diedit oleh Fadly Yanuar Iriansyah; Sumber gambar thousandwonders dan disanagimana)
















Replies







sumber:

0 komentar:

Posting Komentar