Mari kita kilas balik ke Cina di tahun 2011. Saat itu, pasar smartphone di negeri panda dijejali oleh merek-merek seperti Samsung, Nokia, dan Apple. Jika ada yang mengatakan kepada kamu, “Tahun 2016 nanti, pasar ini akan didominasi oleh perusahaan Cina yang namanya baru kamu dengar,” kamu mungkin tak akan menjagokan Xiaomi yang baru memulai debut smartphone-nya tahun itu.
Namun, kamu mungkin menebak kalau itu adalah Vivo.
Baik Xiaomi maupun Vivo mulai memproduksi smartphone pada tahun yang sama. Namun masing-masing perusahaan tersebut menyasar segmen yang berbeda.
Terjangkau atau premium?
Vivo menyasar segmen atas. Mereka mencoba merayu para pengguna Samsung dan iPhone untuk bermigrasi menggunakan produknya. Perusahaan ini meluncurkan “smartphone paling tipis di dunia” pada 2012, dengan nama X1.
Vivo yakin, bahwa pertimbangan konsumen dalam membeli smartphone adalah berdasarkan desain dan spesifikasinya (salah satu aspek spesial yang bisa kita temui pada produk Vivo adalah prosesor audionya), perangkat keras yang mumpuni, dan harga yang tidak terlalu mahal—namun bukan berarti murah. X1 dibanderol US$400 (sekitar Rp5,2 juta)
Harga tersebut lebih mahal dibandingkan harga yang biasa dipatok Xiaomi, yang berkisar antara US$100 sampai US$300 (sekitar Rp1,3 juta hingga Rp3,9 juta).
Vivo dimiliki oleh BBK Electronics, yang juga merupakan induk perusahaan Oppo. Seperti kita tahu bahwa salah satu petinggi Oppo, mendirikan perusahaan baru dengan nama OnePlus.
Koneksi tersebut mempermudah Vivo melenggang di pasar Cina, untuk menjual handset mereka di toko konvensional maupun online. Perusahaan ini juga dengan cepat go-international, merambah Rusia, Amerika, dan negara lainnya.
Namun, sejarah membuktikan bahwa pasar Cina tak memerlukan kehadiran iPhone versi lokal. Justru pasar ini sedang bersiap menyambut kehadiran jagoan baru.
Xiaomi mendobrak pasar smartphone Cina. Kedatangannya membuat kompetitor lain kalang kabut. Dalam sebuah presentasi bergaya ala Apple di tahun 2012, startup ini memamerkan ponsel kedua mereka, Mi 2, dengan harga US$320 (sekitar Rp4,1 juta) yang terbukti sukses.
Xiaomi memilih menghindari toko konvensional dan ritel. Mereka menjual mayoritas smartphone secara online lewat situsnya.
Xiaomi bisa sukses bukan karena mereka berhasil menggaet pengguna iPhone untuk beralih, namun karena kejelian mereka melihat angka pengguna ponsel lipat dan meningkatnya masyarakat kelas menengah di Cina yang membeli smartphone untuk pertama kali. Mereka melakukannya dengan cara menawarkan perangkat yang lebih murah dan lebih baik secara spesifikasi ketimbang apa yang ditawarkan Samsung dan Apple.
Tren ini bertahan selama tahun 2013 hingga tahun 2014. Di saat Vivo terus memproduksi perangkat premium, Xiaomi gencar menggempur pasar menengah.
Salah satu smartphone yang ditawarkan Vivo memiliki bentang layar 5,7 inci dan berbanderol US$500 (sekitar Rp6,5 juta) lengkap dengan prosesor audio khusus. Mereka juga merilis smartphone 6 inci beresolusi 2K yang di dalamnya tersemat sensor sidik jari. dengan harga US$580 (sekitar Rp7,5 juta). Keduanya dirilis pada tahun 2013.
Keduanya adalah phablet, diluncurkan tepat saat smartphone yang pengoperasiannya memerlukan dua tangan sedang menjadi tren. Fitur-fitur yang kini umum ditemui, seperti layar resolusi tinggi dan sensor sidik jari, sudah diusung oleh produk Vivo.
Tatkala Vivo berkutat dengan hal-hal baru, Xiaomi terus menjual perangkat solid dan berkualitas dengan harga yang miring—respons pasar begitu positif. Mi 3 terjual kurang dari dua menit setelah acara penjualan online mereka dibuka. Hingga akhir 2013, Xiaomi telah menjual hampir 20 juta smartphone.
Setahun berselang, mereka menggeser dominasi Samsung sebagai brand smartphone terbesar di Cina, menggenjot penjualan hingga 186 persen pada tahun 2014, dengan angka penjualan mencapai 61 juta smartphone.
Sedangkan Vivo, pada tahun yang sama, berhasil menjual 25 juta ponsel di Cina—belum cukup untuk menempatkannya di posisi lima besar brand smartphone di negara itu.
Menyesuaikan pergeseran pasar
Pasar smartphone di Cina mengalami perubahan yang fundamental dalam dua tahun terakhir ini. Pada 2014, rerata harga smartphone di Cina adalah US$260 (sekitar Rp3,3) juta. Setahun kemudian, harga tersebut naik menjadi US$319 (sekitar Rp4,1 juta). Tahun ini, diprediksi harga rata-rata smartphone di negeri itu kembali naik.
Ketika Xiaomi berjibaku di segmen pasar yang lebih murah—menjual ponsel murah hingga US$75 (sekitar Rp975 ribu)—selera konsumen mulai bergeser ke produk-produk premium.
Itulah alasan mengapa perusahaan yang menjual perangkat dengan harga lebih mahal, seperti Huawei dan Vivo, mengalami peningkatan penjualan di Cina tahun 2015. Huawei menduduki peringkat dua dan Vivo menguntit di peringkat lima.
Sejak pertama kali melahirkan ponsel pertamanya pada 2011, Vivo menyasar segmen yang tak lazim. Perusahaan ini menghadirkan ponsel mutakhir di kala konsumen Cina belum siap menyambut kehadirannya. Vivo, sama halnya dengan Xiaomi, menargetkan India dan Asia Tenggara sebagai pasar internasional utama mereka. Namun, wilayah tersebut bukan tempat yang cocok untuk menjual ponsel seharga US$500.
Namun situasinya kini berbeda. Kejayaan Xiaomi sejak 2013 hingga 2015, kini tak lagi terlihat sama seperti sedia kala. Dan seiring meningkatnya migrasi konsumen Cina ke segmen yang lebih tinggi, Vivo dengan tangan terbuka siap menyambut mereka.
Xiaomi menyadari betul hal ini. Mereka sudah mengambil ancang-ancang agar tak terlempar dari persaingan. Mereka bahkan rela sampai menyimpang dari siklus tahunan rilis produknya demi merancang smartphone flagship yang sesempurna mungkin, dalam wujud Mi5.
Tak lupa mereka ikut merilis Mi5 versi Pro sebagai jawaban atas pergeseran pasar di Cina. Mi5 dibanderol seharga lebih dari US$300, kisaran harga sama yang menjadi prioritas Huawei dan Vivo sejak beberapa tahun silam.
Namun, angka penjualan Xiaomi sejauh ini menunjukkan bahwa kompetisi smartphone di Cina benar-benar ketat dan sulit ditebak. Apa yang diinginkan konsumen Cina dan apa yang ditawarkan Xiaomi kini tak lagi selaras seperti dahulu.
Saya tak mengatakan bahwa Vivo akan merajai pasar ponsel di Cina. Namun, era pangsa pasar yang didominasi vendor-vendor besar perlahan kian pudar, dan akan digantikan oleh pangsa pasar yang lebih kecil namun lebih merata. Salah satu yang akan menguasai pangsa tersebut kemungkinan besar adalah Vivo.
(Diterjemahkan oleh Faisal Bosnia Ahmad dan diedit oleh Fadly Yanuar Iriansyah)
The post Calon Kuat Pengganti Xiaomi Bukan Vendor Smartphone Murah appeared first on Tech in Asia Indonesia.
sumber:
0 komentar:
Posting Komentar